REVIEW
NEGARA PARIPURNA
Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas
PANCASILA
Karya : Yudi Latif
Bab 1
PENDAHULUAN
Pancasila
merupakan warisan jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan
alamnya, sebagai negara yang memiliki banyak lautan yang ditaburi beribu-ribu
kepulauan. Jenius Nusantara juga menggambarkan sifat lautan yang menyerap dan
membersihkan, tanpa mengotori lingkungannya.
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi titik strategis
persilangan antar benua dan antar samudera. Dengan daya tarik kekayaan sumber
daya alam yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan
bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Nusantara sebagai
tamansari peradaban dunia. Selain itu, jenius Nusantara juga merefleksikan
sifat tanahnya yang subur, akibat muntahan debu vulkanik. Dengan demikian,
jenius Nusantara adalah kesanggupan untuk menerima serta berbagi. Apapun budaya
dan ideologi, selama dapat dicerna oleh tata nilai dan sistem sosial, maka
dapat dengan bebas berkembang.
Penindasan
ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus
sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan raligius, toleransi dan kekeluargaan dari
tanah air ini. Karena hal itu sangat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan di
negara ini yang membuat negara menjadi tidak bisa berada dalam kebebasan yang
nyata dan layak. Indonesia pada saat itu memerlukan dasar negara yang mutlak
agar bisa menjalankan sistem kenegaraannya sendiri. Maka, ketika Dr. Radjiman
Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUK), pada Mei 1945, meminta agar sidang segera mengemukakan dasar negara Indonesia
merdeka, mengingatkan para pendiri bangsa untuk menggali kepribadian dan jati
diri bangsa yang telah terpendam dalam sejarah.
Alhasil,
prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka tidak dipungut dari udara,
melainkan dari dalam bumi sejarah bangsa Indonesia itu sendiri.
Fase
pembuahan
Sejak
tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda, mulai merumuskan konsepsi
ideologi politiknya bahwasanya tujuan kemerdekaan itu memiliki dasar prinsip,
yaitu: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian.
Konsepsi ideologi PI itu sebenarnya buah sintesis dari ideologi-ideologi
terdahulu.
Di
tahun yang sama, Tan Malaka berpendapat di dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia bahwa paham kedaulatan rakyat atau
demokrasi telah mengakar kuat dalm tradisi masyarakat Nusantara. Dalam waktu
yang hampir bersamaan, pemikir-pemikir
memiliki pandanganya masing-masing seperti Tjokroaminato yang mengidealiskan
suatu pemikirannya terhadap suatu sintetis antara Islam, sosialisme, dan demokrasi.
Ada juga pemikiran Soekarno mengenai sintetis ideologi yang di rumuskan pada
tahun 1930, yang berisikan rumusan sintetis dari subtansi unsur Ideologi
menurut pandangannya bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat
(nasionalis, Islamistis, dan marxistis) menjadi istilah “sosio-nasionalisme”
dan “sosio-demokrasi”.
Puncak
dari segala usaha untuk mencari sintesi ideologi tersebut adalah Sumpah Pemuda
(28 Oktober 1928), dengan visinya yang mempertautkan keragaman dalam kesatuan
tanah air dan bangsa. Semua hasil pergumulan sejarah yang telah melekat dalam
benak para pendiri bangsa, tentunya dengan memperhitungkan segala aspek yang
ada, membuat para perumus dasar negara menjadi lebih mudah untuk merumuskan
bagaimana nantinya dasar negara ini.
Fase
Perumusan
Perumusan
dasar negara Indonesia merdeka mulai di bicarakan pada sidang pertama BPUK
(pada tanggal 29 mei-1 juni 1945). Dalam rencana awal yang disusun oleh Jepang,
kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap yaitu pertama melalui BPUPK kemudian
disusul dengan pendirian PPKI. Tugas BPUPK itu hanyalah melakukan penyelidikan
mengenai persiapan kemerdekaan, sedangkan untuk rancangan dan penetapan UUD
menjadi kewenangan dari PPKI. Tetapi dengan kreatifitas dan keberanian yang
kuat, para pemimpin bangsa dapat menerobos batas formalitas tersebut.
BPUPK
telah mengemukakan pandanganya terhadap dasar negara melalui pemikiran-pemikiran
dari anggotanya, yang di antaranya adalah: Pentingnya nilai ketuhanan sebagai
fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan,
Pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai-nilai
demokrasi permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai
keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan. Pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan tersebut bisa terlihat jelas bahwasanya secara subtansif semua
prinsip dasar negara. Meski demikian, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh BPUPK
itu masih belum dikatakan layak karena bentuknya masih serabutan, dan belum ada
yang mengusungkan prinsip secara sistematis dan holistik sebagai dasar negara
yang koheren. Meskipun demikian pandangan-pandangan yang telah diusungkan oleh
anggota BPUPK telah memberikan masukan penting bagi Soekarno untuk
mengkombinasikan konsepsinya dan ideologi-ideologi dalam pemikirannya untuk
membuat suatu dasar negara yang utuh dan bisa menjadi suatu dasar yang dapat
dijadikan sebagai tuntunan atau panutan bagi suatu negara.
Menjelang
pidatonya pada tanggal 1 Juni, Soekarno bercerita akan kebimbanganya dan
ketakutannya akan apa yang harus dia sampaikan esok pada tagal 1 Juni di
pidatonya dalam mengemukakan usulnya tentang dasar negara. Soekarno bercerita,
pada malam hari sebelum esoknya dia berpidato Soekarno keluar dari rumahnya di
sana dia hanya menemui kesunyian malam, dia berfikir dan dia merasa betapa
kecilnya manusia dan betapa dhaifnya aku (Soekarno) ini, di situlah dia merasa
pertanggungjawaban yang amat berat dan besar yang di letakan di pundaknya,
karena esok dia harus mengusulkan
pendapatnya tentang dasar negara yang harus dia sampaikan untuk negara yang dia
emban saat ini. Pada saat itu dengan segenap kerendahan hatinya dia berdoa pada
sang pencipta “Ya Allah, ya rabbi, berikanlah petunjukmu kepadaku. Berikanlah
petunjukmu kepadaku apa yang harus aku katakan esok saat aku berpidato nanti,
sebab engkaulah tuhanku, engkau yang mengerti pertanyaan yang di berikan oleh
ketua Dokurisu Zynbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar dari
negara Indonesia merdeka. Dasar negara yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia
selama berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaanya. Aku, ya Tuhan, telah kau
beri kesempatan untuk melihatnya. Mereka yang dipenjara, mereka yang disiksa,
mereka yang tak punya dosa mati dengan segenap perjuanganya, dan aku melihat
semua dengan jelas dengan mataku. Dalam sebuah surat itu dia mengamanatkan
kepada saya.’Bung karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini, lanjutkanlah
perjuangan kita ini’. Ya tuhan ya allah, ya rabbi, berilah petunjuk kepadaku,
sebab esok hari aku harus menjawab pertanyaan yang amat penting ini.
Pada
akhirnya Soekarno mendapat jawaban dari yang kuasa, beliau merumuskan lima
prinsip meja statis dan leitstar dinamis di dalam pidatonya pada 1 Juni. Kelima
prinsip yang dikemukakan oleh bung karno menjadi titik persetujuan segenap
elemen bangsa itu, prinsip tersebut meliputi: 1. Kebangsaan Indonesia, 2.
Internasionalisme, atau Prikemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4.
Kesejahteraan sosial, 5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan
Kelima
prinsip yang dibuat Soekarno di atas adalah suatu konsep dasar negara yang disebut
dengan Pancasila. Tetapi, sehebat apapun hasil penggalian dan uraian dari Soekarno
tersebut, eksposisinya itu adalah masih sebagai pemikiran Soekarno pribadi, dan
masih perlu kesepakatan dari BPUPK sebelum memang mutlak dipakai sebagai dasar
negara Indonesia merdeka. Dan pada proses ini prinsip-prinsip yang diusungkan
oleh Soekarno itu mengalami proses reposisi dan penyempurnaan.
Di
akhir pertemuan Soekarno yang membahas tentang usulan-usulan dari panitia
kecil, Soekarno berinisiatif membentuk panitia kecil (tidak resmi) beranggotakan
sembilan orang, yang kemudian disebut sebagai panitia sembilan. Panitia
sembilan ini bertugas untuk menyusun undang-undang dasar yang di dalamnya
terdapat dasar negara. Panitia sembilan ini berhasil merumuskan dan menyetujui
rancangan pembukaan UUD itu, yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota
dari panitia sembilan pada tanggal 22 juni. Rancangan tersebut diberi nama oleh
Soekarno dengan nama “Mukadimah”, oleh
M. Yamin disebut sebagai “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut
sebagai “Gentelmen’s Agreement”.
Dalam
perumusan UUD ini terdapat pula konflik-konflik yang terjadi, dan paada
akhirnya BPUPK menyepakati pembukaan UUD 1945 pada 11 Juli. Semangat gotong
royong senbagai dasar menusia Indonesia yang disebutkan oleh Soekarno
tercerminkan dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD). Pada hari
kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli) Radjiman Widiodiningat membentuk 3
panitia: panitia rancangan hukum dasar, panitia rencana keuangan dan ekonomi,
dan panitia perancang pembelaan tanah air.
Dalam
perkembangannya terdapat beberapa tahap yang terjadi dalam pembentukan
rancangan UUD. Pada 11-12 Juli panitia kecil mulai merancang batang dari UUD
yang kedua dan hasil rancangan atau rumusannya itu diperbicarakan pada rapat besar
panitia perancang yang diketuai oleh Soekarno pada tanggal 13 Juli 1945.
Setelah diperbincangkan rapat besar panitia perancang, lahirlah rancangan
pertama UUD, setelah rancangan pertama dibahas dalam rapat besar BPUPK pada 14
Juli, lahirlah rancangan kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapatkan
masukan-masukan baru lagi pada rapat besar BPUPK pada tanggal 15-16, maka
lahirlah rancangan ketiga UUD (terakhir).
Berlandaskan
pada Piagam Jakarta, panitia ini merumuskan lima pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaan UUD. Diantaranya yaitu :
1. Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar pada persatuan, 2. Negara yang berdasar atas hidup
kekeluaargaan, 3. Negara yang berkedaulatan rakyat, 4. Negara berdasar atas
ke-Tuhanan, 5. Negara Indonesia memperhatikan penduduk mayoritasnya, dalam
konteks ini adalah umat Muslim.
Yang selanjutnya dikatakan bahwa
“pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari undang-undang
dasar negara Indonesia”. Selain itu, “pokok-pokok yang mewujudkan cita-cita
hukum yang menguasai hukum dasar negaara, baik hukum yang tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis. UUD mendapatkan sebuah masukan baru yang terpapar pada
pasal 28 (rancangan terakhir). Dengan penerimaan itu pula rancangan UUD 1945
mengandung semangat pemulihan hak-hak dasar yang luas dan visioner. Demikianlah,
hingga akhirnya masa persidangan BPUPK telah berakhir (17 Juli), di luar
skenario Jepang, BPUPK telah berhasil menyusun dasar negara (pancasila), dalam
pembukaan UUD -versi piagam Jakarta sebagai norma dasar, yang menjiwai
perumusan (batang tubuh) undang-undang dasar sebagai aturan dasar.
Fase Pengesahan
Walaupun
banyak sekali konsesus secara luas dan rancangan UUD telah di sepakati oleh
anggota BPUPK pada tanggal 16 Juli, kecuali satu orang (M. Yamin), di balik
pengesah n tersebut ternyata masih terdapat ganjalan yang dirasakan oleh oleh
golongan-golongan kebangsaan, karena pencantuman “Tujuh Kata” dalam Piagam
Jakarta, yang dianggap itu tidak adil karena mengandung unsur perlakuan khusus
bagi umat Islam, dan itu dirasa tidak cocok dengan suatu hukum dasar yang
menyangkut warga negara secara keseluruhan.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Moh. Hatta sebagai pebagai
presiden Indonesia dan wakil presiden republik Indonesia. Dan pada saat yang sama
pula PPKI menyetujui Piagam Jakarta sebagai landasan dasar pembukaan UUD 1945,
kecuali “Tujuh Kata” (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya) di belakang sila ke-Tuhanan. “Tujuh Kata” itu lantas diganti
dengan “Yang maha esa”. Sehingga selengkapnya menjadi “ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”. Meskipun pencoretan “Tujuh Kata” itu menimbulkan rasa kekecewaan bagi
sebagian di golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya.
Itulah
proses sejarah pengonsepan Pancasila, yang melintasi banyak rangkaian dan fase-fase,
yang di dalamnya itu terdapat fase pembuahan, fase perumusan, dan juga fase pengesahan. Dimulai
dari fase pembuahan pada tahun 1920 di mana di tahun itu baru menyusun konsep
sintesis tentang ideologi. Dan dengan seriringnya berjalannya waktu dan proses
“penemuan” Indonesia sebagai kode bangsa kebangsaan bersama. Lalu dilanjutkan
dengan fase perumusan, dimulai dari sidang pertama BPUPK dengan pidato dari
Soekarno (1 Juni) sebagai creme de la
creme-nya yang memunculkan istilah
Pancasila. Dan perumusan Pancasila ini yang begitu sulit karena banyak sekali
perbedaan paham di dalam perumusannya yang akhirnya rancangan pancasila dari
konsepesi dan pemikiran ideologi dari Soekarno dibenarkan pada persidangan pertama
BPUK dan setelah itu diterima oleh PPKI. Dan akhirnya fase pengesahan pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang mengikat konstitusional dalam kehidupan bernegara.
Dalam
setiap fase konseptualisasi dari perumusan pancasila itu melibatkan banyak
sekali golongan dan diperoleh dari pemikiran-pemikiran semua anggota BPUPK,
PPKI, Panitia Kecil, Panitia sembilan dll. Yang bahwasanya Pancasila merupakan
pemikiran bersama yang menjadi suatu pondasi negara Indonesia ini.
Sejak
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi ideologi dasar dan
pemikiran suatu bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki peranan yang
sangatlah penting karna menjadi sumber dari berbagai aspek kehidupan bangsa dan
negara. Rasionalitas dalam pancasila merupakan bentuk dari pemikiran yang
rasional, yang di mana Pancasila mendapatkan pembenaran teoretik, dan
komparatifnya dalam teori-teori kentemporer yang menolak tentang “public
religion” yang menolak tesis “separation” dan “privation”, dan mendukung tesis
“differentiation”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu
dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti
batas otoritas masing-masing, dengan istilah “toleransi-kembar”.
Bab
2
KETUHANAN
YANG BERKEBUDAYAAN
Dasar
negara yang mempunyai konteks paling sensitif di dalam suatu negara adalah
konteks keagamaan yang menjadi sumber pokok utama yang ada di dalam suatu
negara (kecuali negara komunis). Konsepsi ini merujuk pada pemikiran tentang
ideologi yang nyata di dalam kehidupan. Ada hal yang perlu dikaitkan dalam konsepsi
ini yaitu tentang keadilan.
Dalam
konteksnya keadilan ini perlu dimasukan dalam konsepsi pemikiran dalam dasar
negara ini, karena di dalam sebuah keagamaan dan kebudayaan memiliki banyak
perbedaan dan pandangan yang hal itu harus bisa dipadukan dan harus bisa
satukan supaya bisa menjadikan suatu konsepsi yang mutlak untuk diterapkan
dalam kehidupan nyata. Usaha-usaha kompromi dilakukan untuk menjaga harmonisasi
antara pendukung ide-ide agama dengan “sekuler” kenegaraan. Hasil dialektika
itu menjadikan Indonesia sebagai negara yang khas, yang dilukiskan William E.
Shepard (1987) sebagai “sekularisme religius”, di mana proses sekulerisasi
harus bernegosiasi dengan religiosasi.
KeTuhanan
dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk
menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai
moraalitas dan budi pekerti yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis
keTuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa dia
bukanlah agama (sebenarnya), tetapi merupakan konsepsi “agama sipil” yang bisa
melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas
dapat dibedakan dari agama.
Memang
ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi
kemajuan. Akan tetapi, dalam konteks yang lain, agama bisa menjadi sumber
kemajuan, itu merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Dengan Pancasila,
kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat
dari tingkat sekuler ke tingkat moral atau sakral.
Bab
3
KEMANUSIAAN
UNIVERSAL
Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Di dalam konteksnya sila tersebut memiliki sebuah tujuan
atau maksud di mana negara ini itu mengutamakan adanya rasa solidaritas yang
tinggi dan kemanusiawian yang mutlak untuk ditetapkan. Sebagai mana maknanya
sila tersebut adalah sebagai panutan bagi kehidupan di negara ini untuk bisa
mengutamakan jiwa sosialnya dan jiwa kemanusiaanya untuk membantu sesama dan
menjalin ikatan persaudaraan secara global.
Di
sisi lain, karena ada stimulus pemikiran dan pergerakan internasional dalam
formasi kebangsaan Indonesia, nasionalisme Indonesia membalas kontribusi
internasional ini dengan mengembangkan nasionalisme yang lapang, yang
mempertautkan diri dengan kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa
(internasionalisme).
Solidaritas
internasional ini pada awal pertumbuhannya terutama dipertautkan dengan
bangsa-bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan yang terdekat,
dengan mengembangkan perasaan sensib-sepenanggungan dalam kerangka “Revolusi
Asia” atau “Pan-Asiatisme”. Dengan kesadaran akan pertautan rasa kemanusiaan
antarbangsa, menjadi jelaslah bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan
bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang luas, yang berdimensi
internasionalisme. Dengan kesadaran eratnya hubungan antara nasionalime dengan
internasionalisme, orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu bersifat
ganda: “keluar”(ikut memperjuangkan perdamaian dan keadilan dunia) dan “ke
dalam” (memuliakan hak-hak asasi manusia, sebagai individu ataupun kelompok).
Kesadaran
akan pentingnya internasionalisme sebagai wahana saling belajar dan saling membantu
dalam kebaikan, membuat para pendiri bangsa mempelajari pelbagai rancangan
konstitusi negara-negara besar di dunia dalam merumuskan rancangan UUD.
Meskipun demikian, keterbukaan mereka terhadap asupan dari berbagai negara luar
tidak menyurutkan tekad mereka untuk menyusun konstitusi yang cocok bagi
tata-nilai masyarakat Indonesia sendiri.
Pada
dasarnya kemanusiaan universal ini bisa dijadikan sebagai sub konteks dari sila
ketiga yang ada dalam pancasila, karena arti nyata dari kemanusiaan yang
universal itu adalah kemanusiaan yang menyeluruh, dalam garis besar kemanusiaan
yang berasaskan atas keTuhanan yang didasari dengan kesatuan dan persatuan.
Bab
4
PERSATUAN
DALAM KEBHINEKAAN
Pancasila
memiliki konsepsi dasar negara mengenai persatuan Indonesia, itu artinya
pancasila sebagai negara yang mendapatkan kemerdekaannya dengan kerja keras
para pejuangnya dengan menyatukan rakyatnya sehingga Indonesia bisa mendapatkan
apa itu yang namanya kemerdekaan atau bebas dari penjajahan. Meski menunjukkan
keragaman dan perubahan, sebagai dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban
besar dalam jangka waktu panjang, baik yang hadir serentak maupun beruntun,
yang kuat maupun yang lemah, Nusantara, dalam pandangan Dennis Lombard, masih
mampu mempertahankan “keasliannya” yang mendalam.
Dengan
pendekatan geopolitik, yang mempertautkan antara orang dan tempat, seorang
Soekarno menyimpulkan bahwa kehendak untuk bersatu dan persatuan perangai
karena kesmaan nasib saja tidak cukup sebagai dasar pembentuk suatu nationale staat, melainkan perlu
dihubungkan dengan kesatuan geopolitik berskala luas. Asal-usul yang menyangkut
persatuan kebangsaan Indonesia tersebut telah digodok oleh panitia kecil (tidak
resmi) beranggotakan sembilan orang, yang bertugas merumuskan rancangan
Pembukaan UUD. Berdasarkan hasil rumusan Panitia Sembilan, yang disepakati pada
22 Juni 1945, kebangsaan Indonesia diakui sebagai salah satu Dasar Negara dalam
ungkapan “Persatuan Indonesia”. Posisinya ditempatkan pada urutan (sila) ketiga
pada Pancasila, mengalami pergeseran dari urutan pertama dalam pidato Soekarno
pada 1 Juni 1945.
Upaya
negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi
berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos
yang mahal berupa fragmentasi masyarakat.
Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen
kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsesus nasional seperti yang tertuang
dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu lainnya,
seperti bahasa Indonesia.
Bab
5
DEMOKRASI
PERMUSYAWARATAN
Negara
persatuan dari kebangsaan multikultur bisa bertahan lebih kokoh jika berdiri di
atas landasan pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin keseimbangan
antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku
bagi segenap warga dan elemen kebangsaan. Yang dituntut bukan hanya pemenuhan
hak-hak individu dan kelompok masyarakat, melainkan juga kewajiban untuk
mengembangkan solidaritas sosial dalam rangka kemaslahatan umat.
Dalam
pandangan Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat
feodal menuju kepada masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya,
Moh. Hatta juga berpendapat bahwa stimulus Islam sebagai salah satu penyebab yang
menghidupkan cita-cita demokrasi di dalam kalbu para pemimpin pergerakan
kebangsaan. Nilai-nilai demokratis Islam itu bersumber dari akar-akar
teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan kepada keTuhanan yang
maha esa, sehingga melahirkan prinsip pada paham kesetaraan
(kesederajatan)manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan
martabat dan pemaksaan kehendak antara sesama manusia. Transformasi ini
tercermin pada sikap orang-orang Indonesia antar sesama.
Dalam
demokrasi, isu terpenting adalah bagaimana sebuah roda pemerintahan dapat
dijalankan dengan baik tanpa adanya pihak yang terdiskriminasi ataupun pihak
yang dikesampingkan oleh suatu hal. Semua kalangan atau pihak berhak untuk
memberikan aspirasinya atau pendapatnya, dengan tujuan untuk menuju kepada yang
lebih baik.
Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki
peraturan-peraturan yang dibentuk berdasarkan kebijakan-kebijakan
pemerintahanya dengan melalui permusyawaratan (demokrasi). Dalam kasus ini,
Indonesia sangat peduli akan pemikiran bersama yang membuat semuanya itu merasa
tidak ada yang didiskriminasikan. Indonesia adalah negara yang mempunyai
pemimpin (presiden). Indonesia mempunyai cara tersendiri dalam pemilihan
pemimpin negaranya, yaitu dengan cara demokrasi atau permusyawaratan, yang
sekarang di sebut sebagai pemilu.
Bab
6
KEADILAN
SOSIAL
Keadilan sosial merupakan sebuah
gagasan pokok yang dilandaskan oleh dasar negara ini. Sila ke lima ini juga
merupakan satu-satunya sila yang ada dalam pembukaan UUD 1945 di mana sila
kelima ini merupakan tubuh penting dari UUD yang membuat ideologi bangsa ini
menjadi utuh dan bisa dijadikan suatu acuan yang baik dan memiliki nilai-nilai
yang rasional. Sila kelima ini merupakan gabungan dari konsepsi atau
aspek-aspek dari sila sebelumnya, yang intinya di dalam sila ini merujuk kepada
semua aspek yang ada di dalam kehidupan berbangsa di negara ini. Tanpa adanya
konsepsi pemikiran dari sila kelima ini kehidupan di negara ini pasti akan
sedikit mengalami kekurangan dalam hal kesejahteraan sosial, kedamaian bangsa
dan juga bisa pula terjadi konflik atau beda paham antar sesama warga negara,
karena di dalam negaranya tidak ada keadilan sosial yang artinya keadilan yang
menyeluruh untuk semua bukan untuk satu objek atau golongan.
Keadilan sosial ini merupakan
landasan ideologi bangsa yang sangat berpengaruh penting akan kesenjangan
sosial bangsa ini. Segala komponen dalam bernegara jika tidak ada keadilan di
muka bumi ini pastilah tiada arti, karena hidup ini bagaikan tidak memiliki
arti jika tidak mendapatkan apa itu yang namanya keadilan. Pancasila sangatlah
sensitif bagi bangsa maka dari itulah sila kelima ini dibuat berdsar ideologi
yang ada dan dengan konsepsi yng begitu sistematis sehingga bisa diterima di
dalam kehidupan di negara ini. Semua ini merupakan sekema dari ideologi yang
sosialis, dan demokratis, yang dimana skema itu merupakan kunci dari dasar
negara yang sebenarnya.
Bab
7
PENUTUP
Pancasila
sebagai landasan negara ini memiliki makna dan tujuan yang sangat penting dalam
sebuah sistem kenegaraan. Indonesia merdeka itu karena landasan kelima sila ini
yang menjadi dasar negara Indonesia. Kelima sila tersebut memiliki landasan
ontologis, epistimologis, dan aksiologis yang kuat. Dalam kehidupan bernegara
ini perlu pendalaman yang di dasarkan oleh pancasila, karena dimana ideologi
sebuah bangsa terbentuk itu karena ada suatu landasan dasarnya.
Demikianlah,
para pendiri bangsa mewariskan kepada kita semangat, alasan, dan tujuan
perjuangan kebangsaan sedemikian terang dan luhurnya. Kehilangan terbesar dari
bangsa ini bukanlah kemerosotan ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan
kehilangan karakter dan harga diri, karena diabaikannya semangat dasar
kehidupan bernegara. “Aib terbesar”,
kata Juvenalis, “Ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang
harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau kehilangan
prinsip-prinsip kehidupan”.
1 Response to Review buku Negara Paripurna karya Yudi Latif
makasihh, izin copy copy yaaa
Posting Komentar